Cerpen – We Fell in Love in October

Aku tak pernah menyangka jika jatuh cinta ternyata se-menyenangkan ini. Aku juga tak menyangka jika bahagia bisa didapat dengan begitu mudah. Melihat senyum manis tersungging indah di bibirnya, contohnya. Aku suka bagaimana Gema Julian Adhitama berbicara, tertawa, juga tersenyum. Aku begitu menyukai semua hal tentangnya. Semua tingkah lakunya terbungkus rapi dalam sebuah kesederhanaan. Hal itulah yang membuatku menyukainya.

Gema Julian Adhitama benar-benar lelaki sederhana.

Aku mulai menyukainya tepat pada 1 Oktober 2018, ketika aku tak sengaja melihatnya di Danau Jenewa, Swiss. Dalam pandanganku, Gema benar-benar terlihat mencolok di sana sebab hanya ia yang terlihat seorang lelaki pribumi di Swiss.

Danau Jenewa

Lelaki itu benar-benar tampan walau berkulit sawo matang.

Meski pada akhirnya aku mengetahui bahwa Gema tinggal di kota dan bersekolah di sekolah yang sama denganku, mengungkapkan cinta tak semudah itu. Sejujurnya, aku tak ingin cintaku hancur begitu saja. Aku sudah susah payah membangun cinta ini sendirian sejak tiga tahun yang lalu.

Meski menurut kalian tiga tahun hanyalah sebentar, tetapi menurutku tidak. Tiga tahun adalah waktu yang benar-benar lama bagi aku yang hanya pengagum rahasianya. Mungkin tiga tahun waktu yang cukup untuk meyakinkan cinta Gema? Ah, tidak-tidak. Kurasa aku butuh waktu seumur hidup untuk cinta seorang Gema.

“Ayara, mau sampai kapan sih? Lo itu harus percaya diri! Lo harus cepet nyatain perasaan lo ke Gema, mumpung dia belum ada pawangnya,” Alin menekanku dengan perkataan-perkataan seperti itu. Tampaknya ia sudah mulai bosan mendengar curhatanku tentang Gema setiap hari. Hehehe, maaf ya, Alin.

“Masalahnya, nyatain perasaan nggak segampang itu. Gue masih butuh waktu!” sanggahku.

“Tiga tahun kurang cukup, kah, Ayara? Lo mau nunggu sampai kapan lagi? Sampai Gema jadi kakek-kakek?”

“Bukan gitu, Lin…. Gue takut Gema bakalan nolak gue. Lagian aneh banget, Gema aja nggak pernah kenal gue, masa tiba-tiba gue nyatain cinta?” balasku gelisah.

Alin mencibir. “Iya memang, lo yang aneh! Masa secepat itu sih, jatuh cinta? Gema aja bahkan nggak pernah ngajak lo ngobrol sekalipun.” Selamat, Alin. Ucapanmu benar-benar menusuk bagai belati yang tajam.

Alin menggenggam kedua tanganku. Genggamannya terasa begitu hangat. “Dibalas atau enggaknya perasaan kita, itu adalah konsekuensi dari mencintai, Ra. Kita nggak bisa maksa orang yang kita suka untuk membalas perasaan kita. Mungkin aja jalan lo dan Gema itu berbeda. Gue yakin, kalau seandainya Gema nolak lo, lo bakalan dapat cowok lain yang lebih cinta sama lo.”

Tetapi, Alin. Aku berharap aku dan Gema berada di jalan yang sama. Di jalan lurus yang membawa kami menuju kebersamaan, esok hari nanti. Semoga.

Tiba-tiba, Kemala— teman sekelasku, datang menghampiri aku dan Alin dengan tergopoh-gopoh. Tangan kanannya membawa seplastik es teh yang sudah tinggal setengah. “Eh eh eh, kalian mau lihat, nggak? Itu Gema anak MIPA satu, ada di lapangan rame-rame,” katanya.

Memang, yang mengetahui bahwa aku menyukai Gema hanyalah Alin. Satu-satunya sahabatku. Aku bangkit dari bangku. “Kenapa Gema?”

“Katanya dia mau nembak Dayna, ketos kita.”

Sungguh, ini menyakitkan. Lebih menyakitkan ketimbang tersayat pisau. Seluruh akal sehat, saraf, serta otot-ototku seakan mati rasa. Jantungku terasa berhenti berdenyut. Mataku memanas, menahan buliran-buliran air mata yang terasa memberontak; ingin jatuh dengan begitu derasnya. Aku terduduk, pandanganku kosong sebab tak bisa lagi berpikir jenih.

Ini memang salahku. Seandainya aku mengatakan cintaku sedari awal. Seandainya aku berani berkenalan dengan Gema. Seandainya aku selalu bisa percaya diri. Kata seandainya terus menerus terngiang di kepalaku.

Sekarang yang ada hanyalah penyesalan.

Alin mengguncang tubuhku. “Ra! Ayara! K-kita di sini aja. Nggak usah keluar.”

Aku menatap Alin, kemudian tersenyum tipis meski hal itu begitu sulit dilakukan. “Nggak apa-apa, gue pengen lihat. Tapi dari atas aja, ya.”

Aku dan Alin keluar dari kelas. Melihat peristiwa paling tak mengenakkan yang sedang terjadi di lapangan. Kelasku memang berada di lantai dua, sehingga aku tidak perlu repot-repot turun ke lapangan.

Tanpa sadar air mataku terjatuh. Aku menggigit bibir untuk meredam isak tangis. Aku menutup mata, tak bisa melihat keadaan di lapangan. Terakhir yang kulihat hanyalah Gema dan Dayna berdiri berhadap-hadapan di tengah lapangan. Ditambah sebuket bunga di tangan Gema, dan sorak sorai teman-teman yang ikut berbahagia.

Hanya aku yang tidak bahagia.

Kamu sudah menemukan cintamu, ya, Gema… Selamat.

Alin memelukku. Ia mengusap rambutku pelan, aku merasakan tangannya ikut gemetar. Aku hanya menangis, dan Alin hanya diam, tidak berani berbicara apa-apa.
Mungkinkah perasaanku harus kandas di sini?

***

1 Oktober 2022

Aku menginjakkan kaki di tanah ini lagi seperti empat tahun lalu. Ya, satu tahun sudah terlewati sejak Gema resmi menjadi pacar Dayna hari itu di lapangan. Sekarang kami semua sudah kuliah. Aku benar-benar menutup telinga dari semua hal tentang Gema. Sekarang, aku tidak tau lelaki itu ada di mana. Kuliah di mana. Tinggal di mana. Bekerja di mana. Dan bagaimana hubungannya dengan Dayna. Aku benar-benar tak mengetahui apapun.

Semua hal sudah kulakukan demi melupakan Gema.

Dan semuanya selalu berakhir sia-sia.

Aku menatap hamparan Danau Jenewa yang begitu indah. “Gema, ini sudah tahun keempat aku mencintaimu. Apa kamu bahagia, Gema?”

“Gue nggak bahagia.”

Suara yang sangat familiar di telingaku. Bau harum seseorang yang berdiri di belakang tubuhku menyeruak menyapa indra penciumanku. Gema… itu benar-benar Gema? Bagaimana bisa?

Aku berbalik ke belakang. Melihat sosoknya yang sedang tersenyum tipis. Wajahnya benar-benar tidak berubah. Hanya saja tampak lebih tinggi dan dewasa. Aku sungguh merindukanmu… Gema.

“Hai, Ayara.”

Air mataku mengalir. Tak menyangka akan perasaan dan peristiwa yang bahkan tak pernah kuimpikan selama ini, sekarang aku rasakan. Ingin sekali aku memelukmu, Gema. Semoga yang kulihat bukanlah ilusi.

Pada akhirnya aku bertemu lagi denganmu. Di tempat, tanggal, dan bulan yang sama dengan empat tahun lalu. Tetapi dengan perasaan dan suasana yang berbeda.

SELESAI





Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai