Cerpen — Abadi

Galan Adelio adalah definisi manusia paling sempurna dari banyaknya makhluk hidup di dunia ini. Yah, setidaknya menurutku. Tampan, bertubuh jangkung, netra cokelat yang indah, serta senyum paling memikat yang pernah kulihat. Dan yang paling membuatnya sempurna ialah… tawanya. Aku suka sekali suara tawanya. Terdengar selalu menggema di hatiku, membuat jantung ini selalu ingin berpacu lebih cepat dan cepat di setiap detiknya.

Seperti sekarang ini. Kulihat lelaki itu sedang asyik tertawa bersama Ira, teman sebangkunya. Yah, meski ia tertawa bukan karena aku, itu tidak apa-apa. Asal aku masih bisa melihat dan mendengar tawa Galan.

Tetapi, sejujurnya, salah satu dari sekian banyak keinginanku yang belum tercapai ialah membuat Galan tertawa, bahkan tersenyum lebar. Belum pernah sekalipun Galan tertawa karena aku. Kami memang teman satu kelas, tetapi entah mengapa aku tak pernah dekat dengannya.

Walau hanya bisa mengaguminya dari jauh, itu sudah cukup.

“Sena, ayo ke kantin,” Liana menarik-narik lenganku.

“Iya sebentar.” Buru-buru aku membereskan alat tulis yang masih berserakan di atas meja, lalu beranjak bangun.

“Sena Rose.” Suara itu. Siapa lagi jika bukan milik Galan? Diam-diam ujung bibirku berkedut menahan senyum.

Aku berbalik. Meski kami berhadapan, aku tetap tidak bisa untuk menatap tepat manik matanya. “Buku ulangan kamu.”

“A-ah. Taruh aja di laci, makasih.” Aku kembali pada Liana, memeluk lengannya sebelum Galan kembali menarik tanganku.

“A-ada apa?”

“Cuek banget. Aku bahkan sampai nggak ingat punya teman yang namanya Sena. Padahal kita satu kelas.”

Ah, jadi, selama ini aku buram di pandanganmu, ya, Galan?

“Yaa trus aku harus apa? Kenalan lagi?” balasku yang memang kebingungan atas jawaban yang harus kuberi. Entah mengapa berada di dekat Galan hampir membuatku kehilangan semua kata-kata.

Kulihat Galan tersenyum tipis. Sekilas, sih.

Galan mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku tau ia sedang memandangi manik sipitku, hal itu tambah membuatku grogi setengah mati. “Galan Adelio. Nomor absen enam belas. Penyuka aroma petrichor, jaket denim, dan buku novel genre apapun,” katanya dengan percaya diri. Kulihat senyumnya mengembang semakin lebar.

Aku membalas jabatan tangannya. “Sena Rose. Cuma cewek biasa yang enggak menggemari apa-apa.” Kecuali senyum dan tawa Galan.

***

“Sena Rose. Kamu dipanggil Pak Harun,” kudengar suara itu kembali menggema di telingaku. Lantas aku mengalihkan atensiku yang semula pada buku tulis, lalu ke arah sumber suara.

“Pak Harun kenapa?” tanyaku pada Galan yang berdiri di ambang pintu kelas. Galan memang ketua kelas kami, sehingga ia lah yang sering diperintah guru.

“Nggak tau. Tapi hati-hati ya, Pak Harun galak,” katanya serius, membuatku terkekeh ringan. Memangnya harimau atau apa?

“Iya.” Sepuluh menit lebih kuhabiskan di ruang guru untuk menemui Pak Harun. Ternyata beliau bertanya perihal uang kas kelas untuk keperluan study tour. Aku bukan bendahara, sih. Tetapi karena bendahara kelas kami izin sakit selama beberapa hari, jadi aku yang menggantikannya.

“Sena Rose, Pak Harun ngapain tadi? Marahin kamu?” Galan menyerbuku dengan beberapa pertanyaan. Sedikit terkejut sih, untuk apa Galan menungguku di depan pintu ruang guru?

Aku memberi senyuman tipis. “Nggak kok, cuma nanyain uang kas.”

Galan manggut-manggut mengerti. Kami berjalan bersisian menuju ruang kelas. “Kamu… kenapa manggil aku Sena Rose?” Aku terlampau bingung soal itu. Jelas-jelas Galan tau nama panggilanku adalah Sena. Hanya Sena. Sebab jika Sena Rose maka akan terdengar panjang dan berbelit untuk diucapkan.

Galan tampak menahan senyumnya, ia malah menaikkan kedua alisnya. “Kenapa ya? Aku juga enggak tau kenapa. Nama kamu bagus soalnya.”

Kuucap beribu terima kasih kepada mama dan papa yang telah memberiku nama Sena Rose. Seketika rasanya perutku seperti dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu yang beterbangan ke sana ke mari. Galan, tidakkah kamu merasa bahwa kamu telah memberiku secercah rasa harapan?

“Nama kamu juga bagus. Galan Adelio. Artinya apa?”

Galan tersenyum penuh makna. “Galan dalam bahasa Yunani itu artinya tenang dan sabar. Semoga hari-hari penuh emosional yang bakalan aku hadapi nanti, bisa aku lewati dengan penuh sabar. Kayak arti nama aku.”

Aku hanya mengangguk mengerti. “Pantes kamu jadi ketua kelas. Penyabar sih.”

Galan tertawa. Kuulang sekali lagi. Lelaki itu tertawa.

Benarkah ia tertawa sebab aku?

“K-kenapa ketawa?”

Galan meredakan tawanya. “Enggak apa-apa. Oh iya, Sena Rose. Pulang sekolah nanti mau pergi sama aku?”

Entah kebaikan apa yang telah aku perbuat hari ini. Galan, kamu kesambet apa? Sepertinya hari ini adalah hari yang akan paling kusenangi dan akan kukenang dalam seumur hidupku. Tak akan kulupa hari ini. Pertama kalinya kami dekat dan pergi bersama.

Rasanya memang terdengar terlalu cepat dan terburu-buru. Tetapi bagiku tidak, kok. Pasalnya Galan memang sudah mengenalku sedari dulu, tetapi lelaki itu tak pernah mengajakku bicara.

Aku juga bertanya-tanya, kenapa Galan mendadak mendekati aku?

“Mau. Memangnya mau pergi ke mana?”

“Kamu maunya ke mana?”

Duh, kalau ditanya seperti ini aku sih bakalan bingung mau jawab apa. Tolong, jangan tertawakan aku. Jujur, aku belum pernah pergi berdua bersama seorang lelaki.

Semoga hanya Galan yang pertama dan terakhir, ya.

“Aku bingung. Terserah kamu aja deh. Aku setuju-setuju aja kok.”
Senyum lebar menghiasi wajah tampan Galan. “Temenin aku beli novel. Mau?”

“Mauuu.” Meski aku tidak suka membaca buku. Tapi tak apa. Akan kulakukan ini demi Galan.

***

Kami sampai di sebuah toko buku besar yang ada di kota kami. Aku berjalan di samping Galan. Jika dilihat-lihat, rasanya kami seperti adik kakak. Galan yang terlalu tinggi, sih. Seratus delapan puluh empat sentimeter ada, mungkin. Galan tetap terlihat tampan meski hanya memakai seragam abu-abu dan jaket denim kesukaannya.

Ia memang tetap terlihat tampan dari segi manapun.

“Kamu mau nyari buku apa?” Galan bertanya padaku saat kami sudah tiba di depan rak buku novel.

“Apa ya? Aku enggak terlalu suka baca buku novel, sih. Mungkin aku bakal beli buku latihan soal?” jawabku bimbang.

Galan mengangguk. “Nanti aku bantu carikan buku soal yang lengkap.”

Setelah memutari seisi toko buku selama lima menit, akhirnya Galan menemukan buku yang sedang ia cari. “Hujan Bulan Juni?” gumamku.

“Iya. Ini buku lama, nyarinya susah banget. Aku beli ini buat kamu sebenarnya. Aku baru tau sih, kamu enggak suka baca buku. Tapi dibaca, ya? Hehehe.”

Aku menerima buku itu dengan perasaan paling sumringah yang pernah kurasa. “Siap, bos.”

Galan tertawa. Lelaki itu menggandeng tanganku ke kasir. “Sini, aku bayar dulu,” katanya.

“Buku soal-soalnya aku aja yang bayar,” selaku. Tetapi Galan keburu menahan, “enggak. Aku aja sekalian.”

Ingin menolak, tetapi Galan sudah terlanjur membayar buku itu. “Makasih, Galan. Nanti makan gentian aku yang bayar.”

“Iya.”

Kini tujuan kami selanjutnya adalah pergi ke warung bakso yang terkenal enak di kota kami. Ternyata warung itu baru buka lima menit yang lalu, sehingga masih sepi. Untung deh kalau begitu.

Selagi menunggu pesanan datang, Galan terlihat sedang meremas jari-jari tangannya. Lelaki itu tampak gugup. “Galan, kamu kenapa?”

Galan agak terkejut, tetapi lelaki itu tersenyum lemah. “Maaf, Sena Rose.”

“Untuk apa?”

“Selama ini aku suka sama kamu. Maaf. Tapi, apa boleh aku jadi pacar kamu? Rasanya pengen buat kamu bahagia. Ah, tapi kalau enggak mau,—”

“Kata siapa? Aku kan mau.”

Itu adalah kata-kata, perasaan, suasana, dan hari yang paling aku tunggu di seluruh waktu dalam hidupku. Bahkan, dulu, membayangkan pun rasanya tak pantas. Tetapi kini, semua sudah kurasakan. Kata-kata impian itu terucap dengan lancar dari mulut Galan.

Kami berdua sama-sama saling tersenyum lebar, tak menghiraukan dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh yang ternyata sudah dihidangkan di atas meja. Hatiku senang bukan main. Ah, jangan ditanya bagaimana jantung dan perutku sekarang. Rasanya ingin meledak!

“Halo, kekasihku.” Aku tertawa lebar mendengar ucapan Galan.

***

Tak terasa hari sudah gelap. Aku menyimpan cerpen yang sudah kuketik selama beberapa hari ini, lalu menutup macbook ku.

Meraih buku novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang Galan beri dulu. Buku itu kusimpan di sebuah rak khusus barang pemberian Galan. Demi menjaganya tetap awet, aku membersihkannya setiap hari.

Galan, rinduku tidak akan pernah pudar barang sedetikpun.

Aku tersenyum tipis, mengenang hari-hari menyenangkan di masa lalu bersama sosok yang paling kucintai. Ah, sudah sepuluh tahun terlewat, rupanya. Membayangkan betapa bahagianya aku jika Galan ada di sini sampai detik ini. Bersamaku. Tetapi, mungkin takdirnya memang sudah begini. Aku tak apa.

Galan, aku hanya ingin kamu tau bahwa kamulah sosok cahaya, penenang, dan penguat dari semua rasa putus asa yang pernah aku rasakan. Sebab kamu adalah semestaku.

Kutulis seluruh kisah cinta kita agar aku bisa menenangmu dalam keabadian paling abadi, Galan. Selamat jalan. Semoga kamu bahagia. Jangan menyesali keputusan Tuhan yang membuat kanker darah itu merenggut habis nyawamu.

Meski aku sendiri menyesal kenapa kita tak bisa mengukir cinta kita lebih lama lagi.

Tetapi, aku masih dan akan selalu ada di sini, Galan. Untukmu.

SELESAI





Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai